”Persatuan Ummat Islam” (PUI) lahir pada tahun 1952 sebagai ”anak zaman” dalam mematri persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya persatuan dan kesatuan ummat Islam. Dikatakan sebagai anak zaman karena pada waktu lahirnya, yaitu pada tanggal 5 April 1952 di Bogor, Jawa Barat situasi dan kondisi keorganisasian sosial dan masyarakat di Indonesia saat itu cenderung berpecah-belah. Tetapi PUI lahir justru sebagai hasil fusi (penggabungan) antara dua organisasi besar, yaitu Perikatan Ummat Islam (PUI) yang berpusat di Majalengka, pendirinya K.H. Abdul Halim dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) yang berpusat di Sukabumi, pendirinya K.H. Ahmad Sanusi. Fusi kedua organisasi tersebut dideklarasikan pada tanggal 5 April 1952 M bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1371 H bertempat di Gedung Nasional Kota Bogor.
Perikatan
Ummat Islam (PUI) adalah organisasi yang pada awal
didirikannya oleh K.H. Abdul Halim di Majalengka, bernama Hayatul Qulub
(1912). Perhimpunan Hayatul Qulub mengelola lembaga pendidikan yang
mengintegrasikan pesantren dengan sistim madrasah/sekolah; di mana para santri
selain belajar di surau, pada pagi/siang hari juga belajar di ruang kelas,
duduk di bangku menghadap meja dan papan tulis. Di madrasah para siswa juga
diajarkan pengetahuan umum dan bahasa asing (Belanda dan Inggris). Pada masa
itu sistim pendidikan madrasah seperti itu tidak lazim dilakukan selain oleh
sekolah-sekolah Belanda. Karenanya para ulama dan orang-orang yang tidak
setuju, memfitnahnya sebagai sekolah kafir.
Hayatul Qulub tidak hanya bergerak di bidang pendidikan tetapi juga
banyak bergerak di bidang sosial dan ekonomi untuk membela rakyat dari tekanan
kapitalisme Belanda.
Perhimpunan Hayatul Qulub ini
tumbuh dan berkembang melalui proses perjuangan yang penuh tantangan dan
rintangan dari pemerintah kolonial Belanda. Dalam mencapai tujuannya,
organisasi ini telah mengalami beberapa kali penyempurnaan dan pergantian nama.
Pada tanggal 16 Mei 1916
perhimpunan Hayatul Qulub berubah menjadi I’anatul Muta’allimin. Berkat
kerja keras dan besarnya perhatian serta dukungan masyarakat, dalam waktu yang
sangat singkat, telah berdiri cabang-cabang I’anatul Muta’allimin di seluruh
Kecamatan dalam Kabupaten Majalengka, dan organisasi ini termasyhur sebagai
satu-satunya pusat pendidikan Islam modern di Majalengka.
Pada bulan Nopember 1916, atas
saran dari HOS Tjokroaminoto teman karib K.H. Abdul Halim, I’anatul
Muta’allimin diubah lagi namanya menjadi Persyarikatan Oelama (PO).
Pada tanggal 21 Desember 1917 Persyarikatan Oelama (PO) mendapat pengakuan
Badan Hukum dari Pemerintah Belanda.
Meskipun PO sudah diakui dan
disahkan menjadi Badan Hukum, tetapi pemerintah kolonial Belanda tetap saja
mencurigai kegiatan dan gerak langkah PO karena para pemimpin PO konsisten
dengan sikapnya yang non koperatif serta senantiasa menentang dan memprotes
setiap peraturan atau usaha pemerintah Belanda yang merugikan atau merendahkan
umat Islam dan rakyat Indonesia. Para pemimpin PO baik di kalangan Pengurus Besar
maupun Cabang-Cabangnya, terutama K.H. Abdul Halim selalu diintai oleh PID
(polisi rahasia). Kecurigaan dan kekhawatiran pemerintah Belanda semakin
memuncak setelah beliau ikut serta dalam kegiatan politik bersama Sayarikat
Islam (SI) memimpin aksi massa pemogokan buruh pabrik gula di Kadipaten dan
Jatiwangi pada tahun 1918.
Meskipun tidak sedikit rintangan
dan hambatan dari pemerintah Belanda dan orang-orang yang tidak suka, namun
Persyarikatan Oelama (PO) terus berkembang dengan sangat pesat. Tahun 1919
Cabang dan madrasah-madrasah PO sudah bertebaran di berbagai pelosok
Majalengka, Cirebon, Kuningan, Indramayu, Jatibarang, Bandung, Cianjur, sampai
ke Tegal (Jawa Tengah). Untuk memenuhi kebutuhan guru di madrasah-madrasah
tersebut maka didirikanlan Kweekschool (sekolah guru). Para santri dan pelajar yang sudah tamat dari madrasah
melanjutkan ke Kweekschool untuk menjadi guru.
Setelah mendapat penetapan Badan
Hukum untuk seluruh Indonesia dari pemerintah Belanda pada tanggal 18 Agustus
1937, maka PO mulai melebarkan sayapnya ke Semarang, Purwokerto, Banyumas,
sampai ke Tebing Tinggi dan Sumatera Selatan.
Pada awal masa pendudukan Jepang
tahun 1942, semua partai politik dan organisasi pergerakan dibubarkan oleh
penguasa Jepang. Akan tetapi beberapa bulan kemudian Jepang mengeluarkan
maklumat bahwa parpol dan ormas diizinkan aktif kembali. Federasi MIAI aktif
lagi dan diubah namanya menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Sedangkan Persyarikatan Oelama (PO) diganti namanya menjadi Perikatan Oemmat
Islam (POI) yang kemudian dengan perubahan ejaan bahasa Indonesia sistem
Soewandi menjadi Perikatan Ummat Islam (PUI).
Sementara itu di Sukabumi juga
telah berdiri organisasi Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) yang
didirikan oleh K.H. Ahmad Sanusi. Seperti halnya Perikatan Ummat Islam (PUI),
sejarah perjuangan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) juga melalui proses
perkembangan dan pergantian nama. Pada awal didirikannya, organisasi ini
bernama Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII). Pada tahun 1942 AII berganti
nama menjadi Persatuan Oemat Islam Indonesia (POII), dan pada tahun 1947
disesuaikan dengan ejaan Soewandi menjadi Persatuan Ummat Islam Indonesia
(PUII).
Khittah perjuangan PUII pimpinan
K.H. Ahmad Sanusi di Sukabumi secara pripsipil sama dengan khittah perjuangan
PUI pimpinan K.H. Abdul Halim di Majalengka. Kesamaan visi dan missi serta
cita-cita kedua organisasi tersebut akhirnya mendorong kedua belah pihak untuk
melebur organisasi mereka menjadi satu organisasi. Setelah melalui proses yang
cukup panjang serta beberapa kali pertemuan dan perundingan, akhirnya kedua
belah pihak sepakat untuk mendeklarasikan fusi (peleburan) organisasi Perikatan
Ummat Islam (PUI) dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) menjadi
Persatuan Ummat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 M bertepatan dengan
tanggal 9 Rajab 1371 H bertempat di Gedung Nasional Kota Bogor.
Semasa hidupnya, baik K.H. Abdul
Halim maupun K.H. Ahmad Sanusi terus-menerus berjuang untuk mengangkat harkat
dan martabat rakyat. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, keduanya aktif
dalam pasukan Pembela Tanah Air (PETA) serta menjadi anggota Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Berkat jasa-jasanya itu maka
pada tanggal 12 Agustus 1992 berdasarkan Kepres No. 048/PK/1992 kedua orang
pendiri PUI tersebut yaitu K.H. Abdul Halim di anugerahi gelar sebagai Pahlawan
nasional oleh Presiden RI Susilo bambang Yudhoyono di Istana Negara pada
tanggal 10 November 2008.Sementara K.H.
Ahmad Sanusi dianugerahi Bintang Maha Putra Utama oleh Presiden Republik
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar