Mengenal Allah
Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.
Sekilas,
membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing.
Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu
dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta
kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Kalau
mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis
ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar
kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan,
barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang
dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan
rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan
ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk
ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan
menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam
hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan
akan berani menghadapi segala macam problema hidup.
Faktanya,
banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat
kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau
keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita
melanggar perintah dan larangan-Nya?
Maka
dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita
mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud
amal.
Mengenal
Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah
Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat
Allah.
Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.
Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah
mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan
dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua,
melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti
dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan
pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)
Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta
bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)
Mengenal Wujud Allah.
Yaitu beriman
bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal,
panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.
Ketika
seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk,
warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu
tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya.
Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada
orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah
mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh
Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’
Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami
lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak
mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya
orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan
kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)
Ayat
ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui
adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya
mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at
Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh
makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha
Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)
Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah
Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya,
kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)
Maknanya,
menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan,
mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala
mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan
selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi
Allah.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’
Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Maka
ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki
kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah
mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Dalam
masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak
mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan
demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang
selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian
itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah
mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa
berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Allah
telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan.
Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya
sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:
“Dan
mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan
mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan
itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan
kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan
bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan
Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)
“Dan
kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari
langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab
Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)
Demikianlah
Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah
Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk
ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga
Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya,
jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum
muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda
saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah,
ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan
dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan
penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di
kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di
tempat-tempat keramat.
Mereka
harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau
dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini,
merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.
Ringkasnya,
tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit,
menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat,
membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya,
yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala
macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan
seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta
kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.
Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah
Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti
berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar,
cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah
dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan
satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang
besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:
“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allah berfirman:
“Hai
sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian
dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang
bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan
ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas
mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan
peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah
milik Allah semata.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah
berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau
seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan
sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah
berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini
dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan
kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah
berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu,
maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku
dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )
Contoh
konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang
mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah
tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada
seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta
di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa
melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut
jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan
bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika
terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul
Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan
pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap
Allah.”
Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Maksudnya,
kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan
diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa
Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya
dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang
mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)
Dalam
hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak
menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar
ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai
berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah
dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada
Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa
yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)
Ketika
berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari
yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara
tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan
dibenci dalam agama. Allah berfirman:
“Katakanlah:
‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan
(mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)
“Dan
janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta
pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)
Wallahu ‘alam
Dikutip dari: http://www.asysyariah.com Penulis : Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah an Nawawi Judul: Mengenal Allah
0 komentar:
Posting Komentar